Pengertian Ngarot
Terdapat beberapa pengertian terkait dg istilah upacara tradisional. Rahmat Subagio mengartikan upacara tradisional sebagai kelakuan simbolis manusia yg mengharapkan keselamatan, yg merupakan rangkaian tindakan yg diatur oleh adat yg berlaku, serta berhubungan dg berbagai macam peristiwa tetap yg biasa terjadi dalam masyarakat yg bersangkutan (Herlinawati, 2011: 298).
Menurut Suyono (Merlina, 2015: 250), upacara mengandung arti berdasarkan upacara itu sendiri, namun pada dasarnya upacara merupakan suatu pesta tradisional yg telah diatur menurut tata adat atau hukum yg berlaku dalam masyarakat. Adapun menurut Budhisantoso bahwa berbagai upacara dikembangkan dg maksud utk menyampaikan gagasan dan pengalaman pendahulunya, utk mengukuhkan pendapat, norma-norma, dan agama dg lambang-lambang (Intani T., 2009: 85). Hal senada disampaikan oleh Nina Merlina (2015: 251), upacara merupakan salah satu cara utk mengenal sejarah, selain mengenal mitologi dan legenda pada suatu masyarakat tertentu yg belum mengenal tulisan (baca: pada zamannya). Pengertian lain dari upacara tradisional diberikan oleh Al-Hasani (2014: 1220), yakni sebagai salah satu pranata sosial religius yg diperlukan masyarakat sebagai usaha utk memenuhi komunikasi dg kekuatan magis atau roh leluhur.
Dari berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa upacara tradisional bukan merupakan suatu aktivitas seharihari. Sifatnya sakral oleh karena selalu berhubungan dg Sang Pencipta dan para leluhur dari pendukung upacara.
Selanjutnya, bagaimanapun bentuk dari upacara tradisional yg dilaksanakan selalu bermuara utk keselamatan dan kesejahteraan. Sifat upacara tradisional tidak transparan, melainkan berbalut simbol yg menyimpan sejuta pesan dari leluhur utk dilaksanakan oleh generasi penerusnya. Simbol upacara dapat dilambangkan melalui gerakan, perlengkapan upacara, ataupun melalui warna-warni benda yg digunakan dalam upacara. Olehkarenanya, upacara tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja, melainkan terikat oleh tata cara yg berlaku dari awal adanya hingga menurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Upacara tradisional jenisnya bermacam, namun secara garis besar terbagi atas upacara daur hidup yaitu upacara yg menandai terjadinya peralihan dari satu fase ke fase kehidupan berikutnya. Dimulai dari fase kehamilan - kelahiran - fase anak - fase remaja – fase dewasa - fase tua - kematian; dan upacara ruwatan (meruwat). Upacara ini dilaksanakan sebagai upaya utk menolak bala dan utk mendapatkan kesejahteraan. Termasuk di dalam upacara ini adalah upacara yg ada hubungannya dg pertanian.
Indonesia yg dikenal sebagai negara agraris, wajar apabila sebagian besar masyarakatnya bergelut dalam bidang pertanian. Dg kata lain, sawah masih menjadi lahan garapan yg dominan. Tidak heran, hingga saat ini, beras masih menjadi makanan pokok atau makanan unggulan utk sebagian besar masyarakat Indonesia. Beberapa daerah di Jawa Barat, menjadi penopang utk memenuhi kebutuhan makanan pokok tersebut. Salah satunya adalah Kabupaten Indramayu.
Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah 118.011 hektar. Dari luas wilayah tersebut,57.94%-nya merupakan lahan pesawahan1. Itu artinya bahwa separuh lebih dari luas wilayah di Kabupaten Indramayu merupakan daerah pesawahan. Meskipun zaman sudah serba teknologi, namun sebuah wilayah yg masih memiliki sawah yg cukup luas, terkadang masih melaksanakan upacara tradisional yg berkaitan dg pertanian. Entah itu upacara sebelum mengerjakan sawah atau memulai menanam padi, merawat padi, hingga upacara panen. Begitu pula dg Kabupaten Indramayu.
Terkait dg upacara pertanian yg berlangsung di Indramayu, terdapat di antaranya ada upacara sedekah bumi, mapag tamba, mapag sri, dan ngarot. Upacara pertanian seperti sedekah bumi, mapag tamba, dan mapag sri, banyak pula terdapat di sebagian wilayah di Jawa Barat dg istilah yg sama atau berbeda.
Adapun upacara ngarot, berbeda dibandingkan dg upacara tradisional pertanian pada umumnya. Perbedaan yg sangat mencolok adalah pada peserta upacaranya yg tidak lain adalah generasi muda. Dari mulai anak-anak hingga remaja. Padahal, pada upacara pertanian lainnya, umumnya diikuti oleh orang tuatua.
Adanya fenomena yg tidak umum pada peserta/pelaku upacara itu, memunculkan beberapa pertanyaan. Apa sesungguhnya tujuan dari penyelenggaraan upacara ngarot, seperti apa bentuk upacaranya, dan apa fungsinya bagi generasi muda khususnya dan masyarakat Lelea pada umumnya.
Sejarah Upacara Ngarot
Upacara ngarot dilatari oleh peristiwa adanya seorang tokoh masyarakat bernama Ki Kapol. Semasa hidupnya, ia senang mengumpulkan bujang-cuene (muda-mudi) sambil mengadakan makan-makan dan minum di tempat tinggalnya. Oleh karena rasa sayg bujang-cuene kepada Ki Kapol, sebagai balas jasa, mereka secara gotong royong membantu menggarap sawah milik Ki Kapol yg berluas 2, 610 hektar pada waktu itu. Kesempatan itu sekaligus digunakan utk memberikan pembelajaran cara bertani yg benar. Kegiatan tersebut berjalan terus setiap tahun dan dalam perkembangannya disertai hiburan berupa kesenian topeng dan ronggeng ketuk. Setelah masa penjajahan Belanda ditambah dg kesenian jidur (tanjidor).
Manakala Ki Kapol menduduki jabatan kuwu (kepala desa) Desa Lelea, kegiatan bujang-cuene dipindahkan dari balai adat (rumah Ki Kapol) ke balai desa. Ketika Ki Kapol habis masa jabatannya sebagai kuwu, karena Ki Kapol tidak mempunyai keturunan, sawah miliknya yg biasa digarap bujang-cuene diserahkan ke pemerintah desa dg syarat pesta bujang-cuene tersebut harus tetap berjalan. Selanjutnya, pesta bujangcuene tersebut dinamai upacara ngarot.
Kata ngarot berasal dari bahasa Sunda Lelea yg artinya makan-minum (Samian, 1992: 1). Demikian kegiatan terus berlangsung pada setiap tahunnya.Setiap dua minggu usai acara pesta (upacara ngarot), bujang-cuene kemudian ditugasi utk durugan (menggarap sawah). Ada kepercayaan apabila sawah warisan tersebut digarap oleh bujang-cuene, hasilnya akan baik.
Kepercayaan ini menguat oleh karena dilatari adanya suatu peristiwa. Saat itu, seorang kuwu tidak menyetujui sawah kasinoman digarap oleh bujang-cuene. Ketidakpercayaan tersebut karena melihat hasil kerja bujang-cuene yg dianggap kurang baik. Yakni, jarak penanamannya kurang beraturan.
Adanya anggapan seperti itu, pengolahan sawah lalu diserahkan kepada kuli. Namun demikian ternyata hasilnya bukan menjadi lebih baik, melainkan padi banyak terserang hama. Sejak itu, tradisi yg sudah dirintis oleh Ki Kapol dikembalikan seperti pada awalnya.Yakni, sudah menjadi keharusan sawah warisan Ki Kapol digarap oleh bujang-cuene.
Berikutnya, oleh karena sawah milik Ki Kapol tersebut digarap oleh bujang-cuene maka sawah tersebut disebut sebagai sawah kasinoman. Istilah kasinoman berasal dari kata enom yg artinya muda.
Upacara ngarot telah berlangsung sejak abad ke-16. Sebutan ngarot diucapkan oleh masyarakat Lelea maupun luar Lelea. Sedangkan istilah kasinoman, hanya merupakan istilah intern atau dg kata lain hanya digunakan oleh masyarakat Lelea. Kasinoman berasal dari kata enom (orang muda) atau sinom (daun asam yg muda). Daun asam yg muda terlihat bercahaya dan indah, sehingga banyak disukai orang. Demikian halnya harapan dari para peserta upacara.
Tujuan Upacara Ngarot
Sebagaimana yg disampaikan oleh kuwu Desa Lelea, Samian (1992: 2) dan kuwu-kuwu penerusnya, upacara ngarot diselenggarakan utk beberapa tujuan:
Pertama, bertujuan sebagai wadah utk mempersatukan pemuda Desa Lelea.
Kedua, bertujuan utk melekatkan rasa gotong-royong antarpemuda di Desa Lelea.
Ketiga, bertujuan mendewasakan pemuda dg dituntut kemandiriannya.
Tujuan yg ketiga tersebut sesuai dg pituah kokolot Lelea (petuah sesepuh Lelea) yg disampaikan dalam bahasa Sunda Lelea sebagai berikut:
“mikirun budak engkena kuma’a, senajan boga arta kudu tetep usa’a. Kur ngora ula poya – paya, kamberan kolota ula sengsara. Dlema laki kerja, ewena usa’a. Neangan pekaya rukun runtut, aturan agama kudu diturut slamet dunya akherat” (Samian, 1992: 2).
Pada intinya petuah tersebut mengandung nasihat yg ditujukan utk anak-anak muda di Lelea, agar mereka mengisi masa mudanya dg bekerja keras, serta selalu berpedoman pada ajaran agama agar kehidupan mereka selamat dunia dan akhirat.
Selanjutnya, tujuan-tujuan tersebut di atas dijabarkan lebih jauh dg menanamkan rasa cinta bertani kepada generasi muda yg ada di Lelea Tujuan ini memiliki benang merah dg potensi Desa Lelea sebagai daerah pesawahan. Dg adanya rasa cinta utk menekuni bidang pertanian, diharapkan mampu mencegah anak-anak muda Lelea utk merantau.
Selain tujuan-tujuan di atas, tujuan diselenggarakannya upacara juga utk menyeragamkan dimulainya musim tanam, sekaligus memberi komando bahwa tanam padi sudah dapat dimulai.
Penulis : Ria Intani T dan Lasmiyati
Posting Komentar
Posting Komentar