Pengertian Sandiwara
Sandiwara* adalah istilah yg diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Mangkunegara VII. Istilah Sandiwara* berasal dari kata sandi yg berarti rahasia dan wara yg berarti pengajaran. Jika disimpulkan bisa berarti pengajaran yg disampaikan secara rahasia atau pesan yg tersirat. Sandiwara* sendiri merupakan jenis karya seni dua dimensi yaitu sebuah karya seni yg dapat dipandang sebagai karya sastra (naskah atau teks) dan seni pertunjukan. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Pada kenyataannya, Sandiwara* sebagai seni pertunjukan -dimana dalam pertunjukannya menampilkan lakon drama dan tembang lagu- membutuhkan naskah lakon yg merupakan seni sastra.
Sandiwara* adalah istilah yg diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Mangkunegara VII. Istilah Sandiwara* berasal dari kata sandi yg berarti rahasia dan wara yg berarti pengajaran. Jika disimpulkan bisa berarti pengajaran yg disampaikan secara rahasia atau pesan yg tersirat. Sandiwara* sendiri merupakan jenis karya seni dua dimensi yaitu sebuah karya seni yg dapat dipandang sebagai karya sastra (naskah atau teks) dan seni pertunjukan. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Pada kenyataannya, Sandiwara* sebagai seni pertunjukan -dimana dalam pertunjukannya menampilkan lakon drama dan tembang lagu- membutuhkan naskah lakon yg merupakan seni sastra.
Sebaliknya, seni sastra Sandiwara* dapat diimplementasikan melalui Sandiwara* sebagai seni pertunjukan. Kendati demikian, tidak semua jenis Sandiwara* menggunakan naskah sebagai kendali cerita dalam pementasannya, karena ada beberapa grup Sandiwara* yg melakukan pertunjukan dg cara improvisasi setelah mendapat pengarahan dari sutradaranya, seperti grup-grup Sandiwara* asal Indramayu.
Sejarah Sandiwara
Sepanjang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, memang telah berkembang Sandiwara* berbentuk Stambul, Ludruk dan Kethoprak, berlanjut dg kemunculan Orion dan Darnadella yg kesemuanya berfungsi sebagai media hiburan. Namun, eksistensinya kalah setelah masuknya dunia perfilman ke Indonesia. Kedatangan Jepang telah mengembalikan eksistensi dunia perSandiwara*an.
Sepanjang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, memang telah berkembang Sandiwara* berbentuk Stambul, Ludruk dan Kethoprak, berlanjut dg kemunculan Orion dan Darnadella yg kesemuanya berfungsi sebagai media hiburan. Namun, eksistensinya kalah setelah masuknya dunia perfilman ke Indonesia. Kedatangan Jepang telah mengembalikan eksistensi dunia perSandiwara*an.
Akan tetapi, Sandiwara* pada masa Jepang memiliki perbedaan dalam hal fungsi dan ideologi dg masa sebelumnya. Jika pada masa colonial Belanda Sandiwara* sebagai media hiburan yg membawakan tema-tema hiburan seperti dongeng-dongeng atau cerita lokal Indonesia, maka pada masa Jepang adalah sebagai mediasi propaganda yg sudah pasti membawakan tema-tema propaganda.
Berlanjut pada masa setelah kemerdekaan, Sandiwara* masih dijadikan media propaganda dan legitimasi partai politik. Contohnya, partai PNI yg menggunakan Sandiwara* utk kampanye. Fenomena ini terjadi sampai pada masa yg dikenal sebagai peristiwa tragedi nasional 1965. Beragam kesenian yg berkembang sampai saat itu dibubarkan dan beberapa diantaranya membubarkan diri –seperti kelompok Sandiwara* di Indramayu-. Namun, semangat para seniman tidaklah luntur setelah pembubaran masal itu. Beberapa seniman mencoba meniti kembali dan menghidupkan Sandiwara*. Akhir tahun 1960-an merupakan masa kebangkitan kembali kesenian Sandiwara*. Menghadirkan kembali wajah perSandiwara*an dg image dan kesan yg baru.
Awal Mula Kemunculan Sandiwara Di Indramayu
Fenomena budaya ini juga terjadi di wilayah kabupaten Indramayu. Berdasarkan administratif, wilayah Indramayu termasuk wilayah Jawa Barat dg etnis Sunda. Meski demikian, Indramayu bukanlah wilayah yg semua masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-harinya.
Fenomena budaya ini juga terjadi di wilayah kabupaten Indramayu. Berdasarkan administratif, wilayah Indramayu termasuk wilayah Jawa Barat dg etnis Sunda. Meski demikian, Indramayu bukanlah wilayah yg semua masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-harinya.
Masyarakat Indramayu hampir secara keseluruhan menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-harinya seperti halnya masyarakat Cirebon. Hal ini dikarenakan letak geografis wilayah Cirebon dan Indramayu sebagian merupakan wilayahnya pesisir pantai utara yg strategis sebagai sentral perdagangan.
Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, diantaranya lewat syiar Islam Sunan Gunung Djati yg menggunakan bahasa Jawa semakin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut. Oleh karenanya, Cirebon dan Indramayu memiliki dua bahasa ibu, yakni bahasa Sunda dan Jawa.
Perkembangan Sandiwara Di Indramayu
Kabupaten Indramayu juga merupakan salah satu wilayah yg memiliki banyak komunitas kesenian seperti Sandiwara*, tarling, organ tunggal, singa dangdut, sintren, wayg (wayg kulit, wayg cepak, dan wayg golek), barokan, topeng, jidur, dombret dan genjring umbul. Sandiwara* di Indramayu merupakan salah satu kesenian yg masih dilestarikan masyarakatnya sampai saat ini. Perkembangan zaman dan persaingan yg semakin kuat tidak menyurutkan semangat para seniman Sandiwara* utk terus melanjutkan kiprahnya di belantika dunia perteateran Indonesia. Kesulitan dan hambatan memang selalu terjadi dalam jalannya perputaran hidup.
Kabupaten Indramayu juga merupakan salah satu wilayah yg memiliki banyak komunitas kesenian seperti Sandiwara*, tarling, organ tunggal, singa dangdut, sintren, wayg (wayg kulit, wayg cepak, dan wayg golek), barokan, topeng, jidur, dombret dan genjring umbul. Sandiwara* di Indramayu merupakan salah satu kesenian yg masih dilestarikan masyarakatnya sampai saat ini. Perkembangan zaman dan persaingan yg semakin kuat tidak menyurutkan semangat para seniman Sandiwara* utk terus melanjutkan kiprahnya di belantika dunia perteateran Indonesia. Kesulitan dan hambatan memang selalu terjadi dalam jalannya perputaran hidup.
Nama-Nama Grup Sandiwara Di Indramayu
Kehidupan perSandiwara*an pun tak luput dari berbagai rintangan dan tantangan. Sampai saat ini masih terhitung cukup banyak Sandiwara* yg bertahan di Indramayu seperti grup Sandiwara* Darma Saputra, Indra Putra, Lingga Buana, Aneka Tunggal, Bina Remaja Indah, Dwi Warna, Sang Putra Darma, Galu Ajeng, Candra Sari dan lain sebagainya. Cerita yg ditampilkan biasanya berasal dari babad, legenda dan sejarah. Para pemain atau bisa dikatakan artis panggung berasal dari tempat tinggal yg berbeda. Sistem perekrutan artis baru dilakukan langsung oleh pemimpin, dan utk perekrutan artis yg sebelumnya sudah berpengalaman maka sistemnya sama seperti dalam perekrutan para pemain bola, misalnya yaitu dg membeli pemain dari grup A utk pindah ke grup B. Adapun pola pementasannya dibagi dalam tujuh sampai delapan babak yg dimulai dari tetalu sampai babak penutup.
Kehidupan perSandiwara*an pun tak luput dari berbagai rintangan dan tantangan. Sampai saat ini masih terhitung cukup banyak Sandiwara* yg bertahan di Indramayu seperti grup Sandiwara* Darma Saputra, Indra Putra, Lingga Buana, Aneka Tunggal, Bina Remaja Indah, Dwi Warna, Sang Putra Darma, Galu Ajeng, Candra Sari dan lain sebagainya. Cerita yg ditampilkan biasanya berasal dari babad, legenda dan sejarah. Para pemain atau bisa dikatakan artis panggung berasal dari tempat tinggal yg berbeda. Sistem perekrutan artis baru dilakukan langsung oleh pemimpin, dan utk perekrutan artis yg sebelumnya sudah berpengalaman maka sistemnya sama seperti dalam perekrutan para pemain bola, misalnya yaitu dg membeli pemain dari grup A utk pindah ke grup B. Adapun pola pementasannya dibagi dalam tujuh sampai delapan babak yg dimulai dari tetalu sampai babak penutup.
Sebagaimana bahasa sehari-hari yg digunakan masyarakat Indramayu, Sandiwara*-Sandiwara* asal Indramayu juga menggunakan bahasa JawaDermayon. Meski sebagian besar masyarakat Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, tapi persoalan bahasa ini nampaknya bukan suatu hambatan karena pada kenyataannya Sandiwara*-Sandiwara* asal Indramayu ini tidak kehilangan peminatnya baik masyarakat setempat atau luar kabupaten Indramayu. Sejak awal kemunculannya, yaitu tahun 1950-an, Sandiwara* asal Indramayu baru mencapai puncak kejayaannya pada dekade akhir abad ke-20. Pada tahun 1970-an, kesenian Sandiwara* mulai merambat ke luar kabupaten seperti ke Majalengka, Cirebon, Brebes, dan sebagainya. Namun memasuki tahun 2000-an, Sandiwara* ini mulai terpinggirkan dan kurang diminati masyarakat. Perubahan selera ini bisa dikaitkan dg perubahan zaman yg semakin maju serta kemunculan grup-grup kesenian seperti merebaknya grup Organ Tunggal di Indramayu. (Neneng T)
Posting Komentar
Posting Komentar