Dalam Babad Dermayu yang penulis dapatkan, baik Babad Dermayu koleksi Museum Sribaduga maupun Babad Dermayu yang ada di Kedawung dan disalin oleh Syarif Jainal Asikin Tirtawidjaya bin P.S. Rochani Kusumawidjaya[4], mengisahkan tentang pembentukan wilayah Indramayu.
Dikisahkan bahwa Wiralodra dari Bagelen bersama pengikutnya, Ki Tinggil, melakukan perjalanan panjang dari Bagelen ke Cimanuk. Setelah berhasil mendirikan desa di sana Wiralodra kembali ke Bagelen, sedangkan desa di Cimanuk dipimpin oleh Ki Tinggil.
Saat Wiralodra di Bagelen dating tokoh penting lain yang sering dikaitkan dengan pembentukan Indramayu, yaitu Nyi Darma Ayu. Ia diterima Ki Tinggil kemudian mendirikan tempat tinggal di area kosong nan subur untuk bertani karena ia mempunyai keahlian dalam bercocok tanam. Keahliannya terdengar ke berbagai tempat, sehingga banyak murid dari berbagai tempat berguru padanya. Hingga suatu hari kabar itu sampai kepada Pangeran Guru[5]. Ia tidak begitu suka akan keahlian Nyi Darma Ayu karena menurutnya itu adalah keahlian lelaki. Pangeran Guru beserta muridnya datang ke Cimanuk dan bertempur dengan Nyi Darma Ayu. Akan tetapi, pertempuran tersebut dimenangkan oleh Nyi Darma Ayu (Manassa, 2008: 210-224). Menurut kepercayaan masyarakat Pangeran Guru beserta muridnya yang kalah dimakamkan di belakang Mesjid Dermayu sekarang dan sering disebut dengan Pangeran Selawe[6] (Dasuki, 1977: 74).
Setelah pertempuran tersebut Wiralodra beserta keempat saudaranya datang dari Bagelen ke Cimanuk untuk melihat kondisi Cimanuk yang tidak nyaman karena ada pertarungan antara Nyi Darma Ayu dengan Pangeran Guru. Sesampainya di Cimanuk Wiralodra dan saudara-saudaranya ingin menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh kehadiran Nyi Darma Ayu dengan cara adu kekuatan. Saudarasaudara Wiralodra maju terlebih dahulu tapi mereka semua dapat dikalahkan Nyi Darma Ayu. Setelah semua saudara Wiralodra dikalahkan, tibalah gilaran Wiralodra melawan Nyi Darma Ayu. Pada Akhirnya Nyi Darma Ayu menghilang di Cimanuk dan berpesan agar pedukuhan yang Wiralodra dirikan diberi nama sesuai dengan namanya, yaitu Nyi Darma Ayu (Manassa, 2008:232-239).
Setelah bertarung dengan Nyi Darma Ayu, Wiralodra ke Pagaden selama tiga hari. Pulang dari Pagaden ke pedukuahan ia mendengar suara senapan di sebelah timur Cimanuk yang berasal dari Pasukan Kuningan. Pasukan Kuningan yang dipimpin Adipati Kuningan berasal dari Kuningan[7] berpendapat bahwa daerah yang dijadikan padukuhan oleh Wiralodra adalah daerah kekuasaan Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada Sunan Gunung Jati untuk menyerang Indramayu. Meskipun dilarang oleh Sunan Gunung Jati, ia tetap pergi menyerang Indramayu. Terjadilah pertarungan antara Adipati Kuningan dengan Wiralodra, namun kemenangan berada di pihak Wiralodra (Kasim, 2011: 75-76).
Menurut sumber lain Pasukan Adipati Kuningan kalah karena terkena sihir. Setelah kalah mereka dijemput oleh Pasukan Cirebon (Prawiradiredja, 2005: 41). Adapun Wiralodra sendiri melanjutkan perjalanan ke Grage (Cirebon) meminta maaf dan memina izin kepada Sunan Gunung Jati mengenai pedukuhan yang ia dirikan. Setelah mendapat izin dari Sunan Gunung Jati, Wiralodra kembali ke pedukuhan dan secara resmi membukanya dengan nama Dermayu (Manassa, 2008: 240-251). Dalam sumber lain dinyatakan bahwa Wiralodra beserta para petinggi Indramayu menghadap Sunan Gunung Jati untuk masuk Islam dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Cirebon (Prawiradiredja, 2005: 41).
Tokoh utama dalam pembentukan Indramayu, Wiralodra, memiliki beberapa nama seperti Arya Wiralodra, Pangeran Gagak Wiralodra[8], Darmawijaya, Indramwijaya[9]. Ia adalah putra Adipati Singalodra penguasa Bagelen yang merupakan daerah bawahan Majapahit (Prawiradiredja, 2005: 39-41). Senada dengan informasi dari Babad Dermayu yang menyatakan bahwa Wiralodra adalah keturunan Majapahit (Manassa, 2008: 215; Dasuki, 1977: 66). Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dengan urutan Wangsanagara, Wangsayuda, Wiralodra, Tanujaya, dan Tanujiwa (Dasuki, 1977:68; Manassa, 2008: 194). Digambarkan pula bahwa ia adalah seorang tokoh yang gagah berani dan memiliki senjata pusaka yang sering disebut cakra (Manassa dkk, 2008: 211).
Tokoh Wiralodra begitu diagungkan dan menjadi kebanggaan masyarakat sebagai pendiri Indramayu. Hal ini dibuktikan dengan pemeliharaan makam Wiralodra beserta keturunannya di Indramayu yang masih bisa kita lihat sampai saat ini, bahkan direvitalisasi beberapa kali dengan biaya cukup besar.
Nama Wiralodra juga ditemukan dalam beberapa arsip kolonial diantaranya dalam karya de Haan menyebut nama Wiralodra sebagai penguasa Indramayu pada tahun 1676, 1681, 1692, dan 1711-1714. Kemudian dalam Opkomst VIII disebutkan juga Ngabehi Wiralodra adalah seorang bupati muda di Indramayu yang diangkat lewat akta tanggal 6 September 1764. Kemudian dalam Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1819-1942 terdapat nama Wiroladra menjabat sebagai jaksa di Indramayu pada tahun 1837-1839.
Dari angka tahun yang disebutkan dalam keterangan tadi terdapat rentang waktu sekitar 163 tahun. Penulis berpendapat bahwa nama tersebut menunjukkan dua atau tiga orang yang berbeda tapi samasama sebagai pemimpin di wilayah Indramayu. Bisa dikatakan Wiralodra merupakan sebuah gelar turun temurun, bukan sebuah nama individu.
Jika dikaitkan dengan keterangan yang ada pada naskah tradisional dengan kisah seperti di atas, penulis berpendapat bahwa ada kekeliruan dalam pembacaan candrasengkala dalam naskah tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Nurhata, anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Menurutnya ada 14 naskah Babad Dermayu yang tersebar di beberapa tempat. Dari 14 naskah tersebut ada 2 naskah yang memuat informasi candrasengkala yang dijadikan acuan penanggalan hari jadi Kabupaten Indramayu, yaitu koleksi Ki Masta (Cikedung), Sumatra (Plumbon), sedangkan koleksi Zaenal Asikin (Kedawung) tercatat secara eksplisit (Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2015).
Babad Dermayu ini merupakan naskah anonim, sampai saat ini tidak dapat diketahui siapa penulisnya. Akan tetapi, penulis Babad Dermayu ini memiliki perbendaharaan cerita, mengetahui sejumlah referensi kesusastraan yang berkembang pada masanya. Peristiwa yang ditulisakan oleh pengarang tersebut terlepas dari peristiwa nyata atau tidak, karena naskah ini merupakan naskah sastra yang bersifat fiksi, penuh dengan imajinasi liar pengarangnya. Buku Sejarah Indaramayu karya Dasuki, dkk sendiri mengacu pada koleksi Sumatra (Plumbon) dalam penyusunannya. Buku tersebut selama ini sering dijadikan acuan mengenai sejarah Indramayu, meskipun tim penyususn menyadari banyak kekurangan, penghitungan candrasengkala pun penuh kesangsian. Oleh karena itu, Nurhata berpendapat agar dilakukan pembacaan ulang candrasengkala tersebut (Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2015).
Kisah mengenai pembentukan Indramayu ini tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Secara ekstenal, auntentisitas Babad Dermayu tidak diragukan lagi, ditulis sekitar tahun 1900-an. Akan tetapi, untuk masalah internal Babad Dermayu kurang memiliki kredibilitas untuk mengungkapkan peristiwa pembentukan Indramayu yang diperkirakan pada tahun 1527. Peristiwa paling akhir dalam babad ini, yaitu mengenai peristiwa Bagus Rangin pada tahun 1802 hingga 1816 juga terlampau jauh dari waktu penulisan. Oleh karena itu, penggunaan naskah ini untuk peristiwa sejarah perlu kehati-hatian, namun untuk penggunaan sebagai karya sastra tentu sangat diperbolehkan. Dari hasil koroborasi berbagai sumber tokoh Wiralodra sebagai pemimpin Indramayu dapat dipercaya. Hanya saja kasusnya mirip dengan nama Prabu Siliwangi, yang bisa jadi merupakan suatu gelar bukan nama individu karena ada periode cukup panjang yang menyebutkan nama Wiralodra. Penulis berpendapat bahwa ada lebih dari satu orang yang disebut Wiralodra.
Catatan :
[4]Naskah Babad Dermayu di Kedawung ini penulis dapatkan dari R. Achmad Opan Syafari Hasyim, S. Ag., M. Hum. Naskah ini sudah disalin ke dalam tulisan tangan dan aksara latin namun masih berbahasa Jawa. Oleh karena itu, penulis menerjemahkan naskah tersebut atas bantuan Muhamad Mukhtar Zaedin.
[5]Tokoh ini memiliki beberapa nama, dalam Babad Dermayu koleksi Museum Sribaduga disebut Pangeran Palembang dan Pangeran Guru, sedangkan dalam Babad Dermayu yang ada di Kedawung disebut Pangeran Guruh Palembang. Dalam beberapa karya tulis lain tentang Indramayu disebut juga Palembang Gunung.
[6]Pangeran Guru yang diduga Pangeran Selawe ini merupakan keturunan Majapahit. Hal ini disimpulkan berdasar motif surya majapahit di nisan makamnya (Dasuki, 1977: 76). Menurut Nanang Saptono Makam Pangeran Selawe ini bukanlah makam dalam arti kuburan tempat jenazah seseorang. Makam ini diduga hanyalah sebuah petilasan (Kasim, 2013: 122)
[7]Dalam Babad Dermayu disebutkan nama Pangeran Harya Kuningan, Arya Kuningan, Arya Kumuning, atau Pangeran Arya Kemuning. Sumber lain mengatakan bahwa ia berasal dari Galuh mengepalai pasukan yang menyerang Dermayu di sebelah timur Cimanuk (Manassa, 2008: 240-241). Tokoh ini juga diperkirakan sebagai anak angkat Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Jati (Dasuki, 1977: 96).
[8]Tokoh Wiralodra mencerminkan kekuatan 3 dewa utama Hindu atau Trimurti. Mungkin awal pengucapan kata Wiralodra berasal Wirar atau Wirarudra atau Wirarodra. Dalam linguistic Nusantara pelafalan l dan r sering tertukar. Oleh karena itu, asal kata Wiralodra adalah Wira dan Rudra. Wira artinya pahlawan yang gagah berani, sedangkan Rudra adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai dewa penghancur. Dapat ditafsirkan bahwa pemilik nama itu diharapkan dapat bertindak sebagai pahlawan yang gagah berani dan dapat menghancurkan musuhmusuhnya (Munandar, 2007: 20 dalam Kasim, 2011: 39 dan 132).
[9]Nama ini dinyatakan dalam Babad Tanah Sunda atau Babad Cirebon sebagai penguasa Indramayu. Dinyatakan pula bahwa ia memeluk agama Islam dan menyerahkan Indramayu kepada Cirebon pada tahun 1528 (Sulendaningrat. tt: 83). Sumber lain menyatakan bahawa Indrawijaya atau Prabu Indrawijaya adalah gelar kehormatan Wiralodra sebagai penguasa Indramayu (Prawiradiredja, 2005: 41)
Posting Komentar
Posting Komentar