Berdasarkan informasi dari buku Shun-feng siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) yang* berasal dari tahun** 1430 dan ditulis oleh orang Cina. Disebutkan tanjung Ciao-c’iang-wan (Tanjung Indramayu) yang* menunjukan muara Sungai Cimanuk* (Kasim, 2011: 77). Keterangan lain didapatkan dari Tome Pires yang* menyatakan bahwa Chemano (Cimanuk*) merupakan pelabuhan dibawah kekuasaan Raja Sunda (Cortesao, 2015: 241-242).
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang banyak yang* memindahkan kegiatan mereka ke Selat Sunda, tepatnya Banten. Keadaan seperti ini tentu sangat menguntungkan bagi Kerajaan Sunda, karena salah satu pelabuhannya menjadi lebih ramai (Burger, 1962: 45). Pelabuhan lain milik Kerajaan Sunda berfungsi sebagaimana mestinya tapi Pelabuhan Cimanuk* merupakan pelabuhan keenam yang* sedikit berbeda dengan pelabuhan lain. Di pelabuhan milik Kerajaan Sunda yang* lain sering digunakan kapal untuk merapat, sedangkan Cimanuk* hanya memiliki tiang pelabuhan (Cortesao, 2015: 241-242).
Hubungan perdagangan antara Cina dan Jawa sejak tahun** 1450-1567 berada dalam keadaan menggantung karena perdagangan antar keduanya hanya melalui pelabuhan perantara.
Setelah tahun** 1567, saat Mu-Tsung menjadi Kaisar Cina kapal-kapal diperbolehkan berdagang secara legal.
Setidaknya ada 8 kapal yang* diizinkan secara legal berdagang secara langsung mengantarkan barang dagangan ke Jawa bagian Barat, yaitu: empat kapal ke Banten, tiga kapal ke pelabuhan lain yang* berada di bawah kekuasaan Sunda salah satunya Cimanuk*, dan satu kapal khusus ke Sunda Kelapa. (Reid, 2004: 106).
Selanjutnya pada masa VOC tercatat dalam Dagh Registeer tahun** 1636 bahwa dalam satu tahun** ada tiga kapal dari Indramayu mengangkut berbagai barang dagangan seperti sayuran, rotan, dan kayu, ke Batavia (van Leur, 1955: 174-175). Menurut Valentijn, pada tahun** 1670 Indramayu tergolong salah satu tempat penting di Jawa.
Perdagangannya cukup besar dan sepertihalnya daerah Rembang. Indramayu sering mengirimkan kerajinan ukiran kayunya ke Betawi dan tempat lain (Dasuki, 1977: 28).
Sejak 1743-1746 Daerah-daerah pesisir utara yang* berada di bawah kekuasaan VOC telah berkembang dalam hal perdagangan (Ricklefs, 2010: 212). Setiap daerah pesisir yang* telah dikuasai VOC biasanya didirikan sebuah pelabuhan yang* didalamnya terdapat gudang penyimpanan barang dagang.
Di Indramayu juga saat itu terdapat gudang milik VOC (Kartodirdjo, 1988: 247). Sebelum tahun** 1790 pelabuhan di Indramayu memang sudah diatur secara langsung oleh Belanda dan pihak swasta. Hal ini berdasarkan laporan Residen Cirebon, G. F. Gockinga pada tahun** 1790 bahwa ia memperbaiki pelabuhan dan bangunan yang* ada di Cirebon dan Indramayu. Biaya tersebut didapatkan tidak hanya dari pemerintah tapi dari pihak swasta juga (de Haan. 19124: 211).
Pada saat Kerajaan Mataram memperluas kekuasannya ke sebelah barat Pulau Jawa, Sungai Cimanuk* tetap menjadi salah satu sarana transportasi yang* digunakan. Pada tahun** 1632 Mataram mengangkut bahan makanan dan mengirimkan tentara dari Ukur dan Sumedang ke Pesisir Pantai Utara lewat Sungai Cimanuk* (de Haan, t.t.373 & 82). Tahun** 1804 transportasi dari Karangsambung ke Indramayu masih menggunakan perahu. Biaya yang* dibutuhkan untuk mengangkut barang dengan perahu adalah sebesar 15 stuiver (1 stuiver = 25 sen) untuk setiap pikul. Tahun** 1806 pengangkutan kopi dari Priangan juga melewati Sungai Cimanuk*. Kopi yang* disimpan di gudang Karangsambung kemudian diangkut dengan perahu lewat Cimanuk* ke pelabuhan (de Haan, 19123: 648 &717).
Ketika Tome Pires datang ke Pulau Jawa bahasa yang* dipakai di Sunda dan Jawa tidak sama, masing-masing memiliki bahasa tersendiri (Cortesao, 2015: 234). Daerah yang* berbatasan langsung dengan wilayah penggunaan bahasa yang* berbeda, seperti Indramayu yang* terletak antara Jawa dan Sunda, penduduknya dapat berbicara dalam dua bahasa dengan baik atau dapat saling mengerti walaupun mereka masingmasing menggunakan bahasa yang* berbeda (Dahuri dkk, 2004: 103).
Indramayu yang* berada di wilayah perbatasan Sunda dan Jawa menjadikannya sebagai subkultur dari suku Jawa, meskipun hanya berdasarkan aspek bahasa. Akan tetapi bahasa Jawa yang* ada di Indramayu pun berbeda dengan bahasa Jawa yang* berada di Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Perbedaannya hanya terdapat dalam dialek dan beberapa kosa kota. Di Indramayu selain penutur bahasa Jawa terdapat juga penutur berbahasa Sunda, tetapi kasusnya sama seperti penutur bahasa Jawa, yaitu bahasa Sunda yang* digunakan agak berbeda dengan bahasa Sunda pada umumnya.
Banyak pasukan Mataram yang* menetap di Indramayu dan sekitarnya setelah usaha merebut Batavia maupun Banten. Hal tersebut adalah tonggak awal menyebarnya bahasa Jawa di Indramayu. Dalam penutupan berita dari Tenungpura tanggal 18 April 1695 dinyatakan bahwa Indramayu lambat laun seluruhnya menjadi Jawa karena bahasa Jawa digunakan oleh penduduk di seluruh Kabupaten Indramayu (de Haan,t.t.3: 66). Bahasa Sunda di Indramayu sering disebut bahasa Sunda dialek Kaloran yang* digunakan penduduk Parean di Kecamatan Kandanghaur dan Lelea.
Ketika Raffles memerintah Hindia Belanda, ia menuliskan hal senada tentang perbedaan bahasa di Hindia Belanda. Perbedaan tersebut merupakan perbedaan dialek yang* secara umum bisa* dianggap sebagai bahasa yang* berbeda. Empat dialek tersebut adalah pertama, bahasa Sunda yang* digunakan oleh penduduk daerah Pegunungan Jawa sebelah barat Tegal. Kedua, bahasa Jawa merupakan bahasa umum yang* digunakan di Jawa bagian timur dan Cirebon dan meliputi seluruh daerah di Pantai Utara Jawa. Ketiga Madura dan keempat Bali memiliki bahasa atau dialek sendiri yang* berkaitan dengan pulau masing-masing (Raffles,2014: 350-251). Dalam keterangan lain dinyatakan bahwa Jawa Baratatau Pasundan didiami oleh orangorang berbahasa Sunda tapi ada juga sekelompok minoritas orang Jawa dan Belanda yang* hidup di Pesisir Utara (Boomgaard, 2004: 20) Pada tahun** 1930 bahasa yang* digunakan dalam percakapan sehari-hari di Indramayu, khususnya bagian utara adalah bahasa Jawa (Memorie van Overgave van G. J.Oudemans).
Migrasi yang* terjadi tidak hanya mengakibatkan perubahan bahasa, tetapi perubahan dalam budaya bercocok tanam. Ketika migrasi tersebut dijalankan Sultan Agung membuat strategi baru dengan mengangkat pejabat-pejabat bawahannya untuk menjaga perbatasan wilayah kekuasaan Mataram di sebelah barat. Mereka juga diberi tugas untuk mengolah sawah (Kasim, 2011: 87). Hal ini diperkuat dengan catatan dalam naskah Siksa Kandang Karesian bahwa orang Sunda baru mulai bersawah paling cepat abad ke-16 dan semakin berkembang pada abad ke-17 karena mereka terbiasa berladang. Kegiatan bersawah pertama kali dikenalkan oleh orang Jawa yang* sengaja didatangkan ke Sunda.
Pada abad ke-19 pertanian dengan cara bersawah menjadi kegiatan utama masyarakat Sunda secara umum karena hasilnya lebih menguntungkan (Ekadjati, 20052: 151). Keterangan lain terdapat dalam Dagh Register yang* ditulis VOC pada 9 Desember 1693 melaporkan adanya kegiatan bersawah di daerah Indramayu dan Gebang (Lubisdkk, 20031: 61). Indramayu sebagai salah satu daerah yang* berada di Pesisir Utara Jawa yang* memiliki area sawah yang* luas. Hal ini terjadi karena Indramayu lebih dahulu mengenal sistem bersawah dibanding dengan daerah pedalaman Jawa Barat. Meskipun di daerah Pesisir Utara Jawa tidak terkena hujan musim kemarau, namun masyarakat sudah mengenal sistem irigasi sehingga penanaman padi dilakukan sepanjang tahun** (Lombard, 20051: 23)
Posting Komentar
Posting Komentar